Tulisan ini bukanlah tulisan seorang ibu, bukan juga seorang psikolog anak. Hanyalah seorang kakak tertua dari tiga bersaudara yang aktif di Sekolah Minggu dan salah satu tenaga pengajar di TK. Ada sebutan terlalu muda untuk menjadi ibu, tapi tidak ada istilah terlalu muda untuk memodali diri menjadi seorang ibu. Menjadi anak tertua yang punya jarak usia yang jauh dengan adik – adik membuatku lebih banyak ikut main ke lingkungan teman sepermainan mama yang notabene ibu – ibu. Topik yang berputar diantara mereka adalah “Anakku…..”, “Si Mbarep…..”, “Si Kecil….”, dan nama anak – anak mereka. Dalam durasi 1 jam entah berapa kali nama mereka disebut. Masalah yang sering terjadi dikalangan ibu – ibu adalah mendudukkan anak. Memang bukan hal mudah, aku pun kadang juga masih bandel terhadap orangtuaku. Aku dimana sudah bisa berpikir panjang, memahami masalah dari beberapa sudut saja masih bisa begitu. Bagaimana dengan anak – anak? Terutama mereka yang masih balita.
“Tuh… tuh… cicak!”, kalimat ampuh orang tua yang artinya “Sini… Kesini!” atau “Lihat ini nih… lihat!” “Hiii… ada apa itu disana…”, yang diartikan “Jangan kesana!” “Siapa yang nakal? Temboknya ya?”, kemudian memukul tembok dimaksudkan ingin mengatakan “Sudah, jangan nangis lagi.” “Habis ini kita pergi ke (nama tempat) ya.”, maksudnya untuk bilang “Cukup… Mama capek.” Banyak lagi yang lain dimana orang yang lebih dewasa mengatakan hal diatas hanya dikatakan saja tapi tidak beneran. Singkatnya, berbohong. Memang maksud orang dewasa ini tidak berbohong, tapi kenyataannya yang dilakukan ini bohong kan kalau tidak sama dengan kenyataannya. Aku adalah hasil didikan seperti itu, dimana opa – oma dan orangtuaku masih menggunakan metode parenting shortcut, yang penting saat itu anak nurut. Hasilnya, ada dimana saat waktu aku menganggap bohong itu punya beberapa klasifikasi. Bohong ringan dan bohong berat. Ringan sekali mulut ini mengatakan “Bukan aku”, untuk hal – hal yag sebenarnya aku lakukan, hanya saja aku takut dimarahi. Misal mencoret – coret dinding, yang ada justru akum akin dimarahi karena saat itu yang bocah Cuma aku saja. Nggak mungkin kan orang tuaku yang coret- coret? Tenang, sekarang orang tuaku puny acara parenting yang baru, aku juga sudah bertobat :p Barangkali kita sudah capek dan menyerah menghadapi anak yang rewel sehingga kita menggunakan ‘jalan pintas’. Tapi sebenarnya mereka hanya butuh diberi alasan untuk setiap kata “Jangan.”. Mereka tidak akan berhenti mengejar alasan sampai alasan kita bisa diterima logikanya. Apalagi hanya berhenti di kata “Jangan!” dan alasan “Pokoknya jangan”, tentu mereka tidak akan puas dan berhenti. Barangkali mulai saat ini kita bisa mulai memikirkan jawaban untuk pertanyaan “Kenapa?” setiap kali kita berkata “Jangan”. Walau sering kali pertanyaan “Kenapa?” tidak keluar secara langsung dari mulut mereka, namun kita tahu mereka tidak akan brhenti sampai mereka tahu kenapa mereka harus berhenti. 29 Mei 2017. Siang bolong sehabis mendengar seseorang berbohong.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorHi! I'm Abigail Adeline. You can call me whatever because I have a tons of nicknames. Currently a student and have a big willingness to be a mom in the future (IYALAH!). Through this blog I'm trying to share my experiences because you know what, learn from your own experiences is good but learn from others' experiences is better. Archives
January 2017
Categories
All
|