"Haduh, Rabi wae". Bisa jadi kalimat itu merupakan tagline aku tahun ini. Dari Januari, sampai siang tadi kalimat itu masih saja keluar dari bibirku beberapa kali. Tentu saja secara akal sehat aku paham benar Rabi atau menikah bukanlah hal yang benar dilakukan sebagai pelarian keputus-asaan. Juga menikah bukanlah cara untuk mengakhiri masalah. Jadi sebelum lebih lanjut, mari kita stop dulu segment menggurui "Nikah itu harus....", "Nikah itu nggak semudah....", "Kalo nikah....", cukup.
"Hash, Rabi wae lah" sering kali menjadi kalimat spontan andalan ketika raasanya hidup ini berat sekali dijalani. Tentu saja kalimat itu terucap sembari membayangkan jadi istri pengusaha kaya atau entahlah, pokoknya nyaman, tentram, dan bahagia. 2016, sejak Bulan Januari hingga April. Kalimat itu menghiasi percakapan dalam grup kelas, koridor ruang ujian, bahkan hampir setiap saat ketika buku pelajaran terbuka. Ujian. Saat itu rasanya sulit sekali menjalani hari - hari sekolah yang penuh dengan persiapan ujian. Ujian Akhir Semester, TPM, Ujian Tengah Semester, Ujian Sekolah, Ujian Praktek, Ujian Negara. Semua moment itu tidak luput dari hiasan "Tak rabi wae lah". Bulan - bulan berikutnya pun sama. Tidak ada perasaan nyata yang secara harafiah ingin menikah, dibalik kalimat itu sebenarnya hanya tersirat "Duh makkk, mbok uwess" atau "Haduh sudah to". Oktober adalah bulan dimana aku berada di titik terendah. Saat itu seolah menanjak dan terjun merosot. Harga diri pun rasanya ikut hancur. Saat itu tidak ada kalimat ingin menikah terucap. Bahkan rasanya tidak pantas mengatakan itu barang hanya bercanda seperti dulu. Ketika pondasi mulai terbangun lagi dan kaki mulai memutuskan berdiri lagi, disitu lah beban dunia terasa berat. Lagi - lagi kalimat itu keluar. Bahkan kali ini lebih spesifik. "Huhuuuu mau rabi aja. Sama ahli waris. Yang tunggal kalo bisa". Penambahan kriteria itu seolah menggambarkan lebih niat punya keinginan itu dan secara tersirat menggambarkan kedepresianku saat itu. 2016. Akhir tahun ini akan menjadi tahun ke-19 paru - paruku berkenalan dengan oksigen. Sejauh ini rasanya tahun ini akan menjadi tahun dimana aku menyebutkan kalimat itu paling sering. Setidak nya inilah tahun terberat sebelum usia menginjak kepala dua.
3 Comments
Kak Yuli
10/12/2016 02:21:57 pm
Hehehe... lucuuu dehh tulisannya... yuhuuu... semangatt terus adeline, 19 thn... jalan masih panjaaaanngg...
Reply
Leave a Reply. |
AuthorHi! I'm Abigail Adeline. You can call me whatever because I have a tons of nicknames. Currently a student and have a big willingness to be a mom in the future (IYALAH!). Through this blog I'm trying to share my experiences because you know what, learn from your own experiences is good but learn from others' experiences is better. Archives
January 2017
Categories
All
|